Pak Raden Rindu Unyil

| | 0 comments
Kreator film boneka Si Unyil berjuang mengembalikan hak cipta. Minim kepedulian pemerintah terhadap seniman yang berjasa bagi bangsa.





Sore itu Dea seorang diri menempuh perjalanan dari Tebet menuju Petamburan, Slipi. Janji seorang kawan untuk pergi bersamanya batal karena ada pekerjaan yang tak bisa ditunda. Penampilan gadis berjilbab ini sudah matching. Kerudung krem, kaos kuning, sepatu putih. Warna kaca mata dan bungkus smartphone-nya pun kompak, putih.

 
Dea mantap menuju rumah idolanya, Drs Suyadi atau yang lebih dikenal sebagai Pak Raden. Di jejaring sosial Twitter beredar kabar sesepuh pendongeng itu akan tampil berbeda. Pak Raden akan ngamen. Acara diadakan di rumah Suyadi di Jalan Petamburan III/27, Slipi, Jakarta Pusat.

Dea baru pertama kali berkunjung ke rumah Pak Raden. Beberapa puluh meter sebelum Jalan Petamburan III tampak beberapa mobil media sudah diparkir di pinggir jalan. Warga setempat sepertinya tahu sore itu akan banyak orang bertamu di rumah Pak Raden. Mereka bisa membaca gelagat para tamu Pak Raden. ”Tuh di gang yang paling ramai itu rumah Pak Raden,” jawab seorang warga tanpa menunggu pertanyaan Dea usai.

Beberapa mobil stasiun televisi seperti rambu-rambu. Beberapa laki-laki yang menenteng kamera jadi penjuk jalan. Mereka memiliki tujuan yang sama: rumah Pak Raden. Puluhan orang sudah berkerumum di depan rumah Pak Raden. Dan sepertinya akan terus datang. Dibandingkan beberapa rumah di sampingnya, rumah Pak Raden terbilang sederhana. Berpagar tanaman. Beratap rendah dengan teras yang sempit sehingga membuat para juru warta harus berdesak-desakan untuk mendapatkan sudut pengambilan gambar yang bagus. Puluhan orang yang sulit mendapat posisi strategis terpaksa hanya menunggu di luar pagar. Para wartawan berdesak-desak dengan para penggemar yang khusus datang untuk melihat pertunjukan Pak Raden.

Dea pun kesulitan untuk menembus kerumunan wartawan. Keinginan untuk berfoto dengan sang idola dipupusnya. Harapan bertemu dalam suasana yang nyaman dengan Pak Raden tak menjadi kenyataan. ”Nggak nyangka banyak wartawan di sini. Kirain Pak Raden mendongeng. Kecewa juga sih,” ungkap Dea. Untuk melihat sosok Pak Raden dari dekat pun Dea terhalang barikade wartawan. "Dulu waktu kuliah di Bandung saya pernah lihat Pak Raden mendongeng pakai gambar, bagus banget. Tapi cuma lihat dari kejauhan," kata lulusan Teknik Lingkungan ITB ini. Meski kecewa, Dea berharap masih bisa mendapatkan foto Pak Raden. Itu pun dia harus meminta bantuan orang lain. ”Ya enggak apa-apa deh, lumayan walaupun angle-nya nggak bagus-bagus amat,” ujarnya. Penggemar Pak Raden adalah orang dewasa hingga bocah. Seorang laki-laki memangku anak kecil di atas bahunya untuk melihat sosok Pak Raden. "Saya suka membacakan dongeng-dongeng di buku karya Pak Raden. Kalau zaman anak saya ini kan tidak kenal sosok Pak Raden karena serial si Unyil sudah tidak ada," ujarnya. Tangan laki-laki itu mengepit dua buku dongeng. Beberapa ibu yang membawa anaknya pulang awal. Mereka kecewa karena mengira sore itu Pak Raden akan mendongeng. ”Ini bukan acara untuk anak-anak,” kata seorang ibu sambil berlalu.

Bocah-bocah berseliweran mencari wajah khas berkumis tebal itu. Tubuh-tubuh mungil mereka tenggelam di antara kerumunan orang-orang. Beberapa bocah mencoba menyelusup di antara orang dewasa. Ada juga yang lincah menaiki semen penyangga pilar kayu rumah. ”Pak Raden mana? Pak Radennya mana?!” seru seorang bocah.

Pak Raden Menggugat
 
Sol do iwak kebo Re mi fa sol iwak tongkol Mi re mi re gule kare enak dewe

Itulah petikan ”Sol Do Iwak Kebo”, lagu pertama yang dinyanyikan Pak Raden. Disusul ”Yen Ing Tawang Ono Lintang ”, dan terakhir ”Suwe Ora Jamu”. Tidak ada yang istimewa dalam ”konser” kecil Pak Raden. Jangan bayangkan ada panggung besar. Teras rumahnya saja sudah sesak pengunjung. Tidak ada pengiring musik lengkap. Pak Raden hanya menyanyi diiringi saron, salah satu alat musik dalam gamelan. Itulah cara Drs Suyadi atau Pak Raden agar didengarkan. Membongkar kekecewaan karena tak dihiraukan. ”Si Unyil, Sebuah Kegagalan”, demikian judul rilis yang dibagikan Pak Raden untuk para wartawan. Selanjutnya Pak Raden menulis, bukan soal misi atau produksi, melainkan kegagalan bagi kreatornya secara finansial. Kerja keras selama bertahun-tahun tidak menghasilkan rezeki bagi kreatornya. "Bagaimana perasaan Anda, menciptakan sesuatu tapi dipakai orang lain untuk menyenangkan dirinya dan kita dilupakan?" seru Pak Raden di depan para juru warta.

Si Unyil adalah cerita anak yang melegenda. Meski serialnya sudah tak lagi ada di layar kaca, karakter boneka tangan ini masih lekat dalam ingatan masyarakat. Tokoh si Unyil juga masih digunakan secara komersial hingga sekarang. Tapi ironis, sang kreator, Drs Suyadi atau Pak Raden, tak menikmati keuntungan finansial dari popularitas boneka ciptaannya itu. Drs Suyadi dianggap tak lagi berhak atas hak cipta Si Unyil. Pada 14 Desember 1995 Suyadi menyerahkan hak cipta Si Unyil kepada Perusahaan Film Nasional, dengan perjanjian hanya berlaku selama lima tahun, hingga tahun 2000. Namun PFN bersikukuh bahwa hak cipta Si Unyil tetap di pihak mereka selamanya. Suyadi kecewa karena setiap orang bebas mengkomersialkan Si Unyil dan tokoh-tokohnya untuk meraup keuntungan. Sedangkan Suyadi sebagai kreator mengaku tidak mendapatkan apa-apa.

Kawan-kawan seprofesi berinisiatif memproses gugatan hak cipta ke Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM. ”Saya dan teman-teman ingin Pak Raden hidup layak,” kata Prasodjo Chusnato, yang juga akan menulis buku biografi Pak Raden. Selain mendongeng, Suyadi menyambung hidup dari hasil menjual lukisan. Tapi menjual lukisan bukan hal yang mudah. Untuk mendapatkan proyek mendongeng, Pak Raden dibantu oleh kawan-kawan sesama pendongeng. Apalagi kondisi fisik Suyadi yang sepuh tak lagi bugar. Lututnya menderita pengapuran. Sorot matanya menyiratkan kelelahan. Jika berbicara banyak, terdengar desis nafasnya tersengal-sengal.

Solidaritas para pendongeng pula yang membuat Suyadi bisa mengadakan ”Pak Raden Ngamen”. ”Idenya murni dari Pak Raden,” tutur Ariyo, salah seorang panitia yang juga pendongeng. Ariyo tak menduga animo masyarakat, termasuk para jurnalis, cukup besar. Dia mengaku panitia tak bisa berbuat banyak jika situasi menjadi tak kondusif. Termasuk ada yang menelan kekecewaan karena sulit bertemu Pak Raden. Memang disengaja rumah Drs Suyadi jadi lokasi awal acara ”Pak Raden Ngamen”. Agar semua orang mengetahui kehidupan pendongeng itu sesungguhnya. ”Kami rencananya membuat juga di Taman Ismail Marzuki, tapi itu nanti sekitar bulan Mei atau Juni. Sekarang yang penting orang tahu dulu keadaan Pak Raden,” kata Ariyo di sela kesibukan menjual kaos merchandise bergambar Pak Raden. Panitia juga membuka donasi untuk Pak Raden. Hasil penjualan kaos akan diserahkan kepada Pak Raden untuk membiayai kehidupan sehari-hari.

Sore itu menjadi harapan baru bagi Drs Suyadi alias Pak Raden. Seperti ditulis dalam lembar rilis, ”Besar harapan saya dapat lagi memegang kepemilikan hak cipta Si Unyil sebelum matahari kehidupan saya terbenam.” Pak Raden tak tipis harapan. Acara ”Pak Raden Ngamen” mengundang simpati berbagai pihak. Para musisi datang dan ikut mengamen. Beberapa hari kemudian Menteri BUMN Dahlan Iskan bertandang ke rumah Pak Raden dan berjanji akan membantu kebutuhan bulanan Pak Raden. Beberapa akun Facebook juga menyuarakan aksi simpati dukungan kepada Pak Raden dengan cara masing-masing. Demi mengembalikan Si Unyil kepada Pak Raden. (E4)

Sumber: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=5551

0 comments:

Post a Comment

Ada komentar?

 
Twitter Facebook