Wawancara dengan Suyadi

| | 0 comments


Kreator atau pencipta tokoh Si Unyil ini bercerita tentang hak cipta karyanya yang dirampas secara semena-mena, serta pentingnya kaum muda mempelajari hak cipta.

Pada era '80-an, film boneka Si Unyil sempat menjadi tayangan favorit anak-anak. Film boneka yang ditayangkan tiap Minggu pagi di TVRI itu melahirkan "tokoh-tokoh" yang masih diingat orang hingga kini. Selain Si Unyil yang menjadi "aktor" utama, tokoh Pak Ogah dan Pak Raden lumayan familiar hingga kini.

Saking kuat dan melekatnya karakter boneka-boneka ini di benak pemirsa, sampai sekarang pun orang sering menyebut Pak Ogah untuk mereka yang pemalas, dan Pak Raden untuk mereka yang memiliki sifat kikir. Tapi, jarang yang mengetahui siapa sebenarnya sang pencipta boneka-boneka ini. Dialah Drs Suryadi. Selain pencipta, pria berkumis ini juga "pemeran" (tepatnya orang yang menyulihsuarakan) tokoh Pak Raden. 

Dalam sepekan terakhir, tokoh Pak Raden ini kembali menyita perhatian publik. Hal ini terkait konflik royalti atas hak cipta boneka si Unyil dan teman-temannya. Kamis (19/4), Pak Raden alias Suryadi sowan ke Pusat Produksi Film Negara (lazim disingkat PFN) yang selama ini menikmati hasil royalti atas si Unyil. Dari hasil pertemuan mediasi, diketahui ada versi dokumen berbeda yang diyakini oleh pihak PFN dan juga Pak Raden. Seperti apa persoalannya, wartawan Koran Jakarta, Nanik Ismawati, mewawancarai Pak Raden di kediamannya di kawasan Petamburan, Jakarta Barat, Kamis lalu. Berikut petikannya.

Bagaimana hasil pertemuan (mediasi-red) dengan pihak PFN?
Ya, dengan adanya surat perjanjian itu, artinya saya sudah kehilangan semua hak saya atas Unyil. Jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa dengan si Unyil ini. Itu sudah milik PFN, meskipun dalam perjanjian pertama itu jelas-jelas ditulis bahwa penyerahan hak cipta hanya berlaku selama 5 tahun. Jadi harusnya sudah lewat waktunya. Tapi tetap PFN menganggap saya sudah tidak punya hak lagi. Semua milik PFN. Jadi si pencipta sudah kehilangan hak ciptanya. Ini yang membuat risau saya. Ya, tidak enak kan kalau kita membuat sesuatu tapi kita tidak bisa memunyai hak atas yang kita ciptakan. Tidak cuma itu, saya kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu dengan ciptaan saya, itu yang jadi pikiran saya.

Kehilangan seperti apa?
Ya, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saya tidak bisa menampilkan si Unyil yang karya saya sendiri karena hak ciptanya kini milik PFN. Padahal itu bukan film, bukan video, bukan apa pun.Itu hanya satu permainan (boneka) pada waktu itu.Tayangan yang berupa permainan. 

Sebenarnya seperti apa hubungan Anda dulu dengan PFN?
Nah, itu dia. Hubungan saya dengan PFN begitu baik waktu itu. Harmonis. Ada ikatan emosional yang sangat kuat. Makanya, sebetulnya kami tidak ingin menjadikan ini sebagai suatu perkara. Maunya bisa diselesaikan secara silaturahmi saja dan saya sudah mengatakan hal ini ke Pak Endarjono (Direktur PFN saat ini-red). Kalau bisa, kita usahakan cari win-win solution-nya.

Hubungan harmonisnya seperti apa saat itu?
PFN dulu dengan sekarang itu tidak sama. PFN sudah berkali-kali berganti direksi. Hubungan yang paling baik dengan PFN itu pada tahun 70-an, waktu direktur utamanya itu Pak Drs Gufron Dwipayana, panggilan akrabnya Pak Dipo.

Sudah kenal dengan PFN sejak Pak Dipo?
Ya, bahkan jauh sebelumnya, sebelum ada Unyil. Saya dengan Pak Kurnaen Suhardiman (penulis dan sutradara film anak saat itu-red). Beliau sudah almarhum. Kami sudah sering dipanggil beliau (Pak Dipo-red) untuk memberikan kursus animasi tentang perfilman. Ya, sudah kenal baik dari dulu.

Soal serial si Unyil, pihak PFN yang meminta atau bagaimana?
Begini, ini atas prakarsa Pak Dipo. Suatu hari di tahun ‘70-an, beliau punya gagasan kenapa kalau sore hari yang kita lihat itu film-film asing. Kapan ada film-film buatan Indonesia diperuntukkan bagi anak Indonesia. Nah, dipanggillah kami, saya dan Pak Kurnaen. Saya perupa, tukang bikin gambar, bikin buku-buku anak, dan Pak Kurnaen itu penulis dan sutradara anak.

Kenapa Anda yang dipanggil saat itu?
Karena kami memang sudah saling kenal. Beliau (Pak Dipo) selalu panggil kami kalau mereka (PFN) perlu apa-apa. Misalnya, Pak Dipo membutuhkan pengajar untuk perfilman, Pak Kurnaen selalu dilibatkan. Untuk belajar animasi, saya dilibatkan untuk mengajar staf PFN tentang animasi. Jadi sebelum memanggil, Pak Dipo itu sudah mengetahui kualitas kami masing-masing, sehingga ketika ada gagasan untuk membuat serial anak-anak Indonesia, ya kami yang dipanggil.

Lantas setelah dipanggil?
Intinya Pak Dipo ini memunyai gagasan untuk membuat tayangan untuk anak-anak Indonesia, bikinan Indonesia, diperuntukkan untuk anak Indonesia. Tayangan itu harus berupa kartun. Kalau manusia biasa, aktor hidup, waduh itu terlalu biasa. Bayangkan, di era ’70-an kita harus memproduksi kartun yang tiap hari Minggu harus tayang, kami angkat tangan. Pertama kali, dari segi SDM-nya tentu ada yang bisa mengerjakan animasi, tapi ya tidak banyak.

Saat diminta, sebenarnya sudah ada gambaran tokohnya atau belum?
Sebenarnya sudah karena kami sudah memakai tokoh yang mungkin belum ada namanya. Ya, rupanya memang begitu aja. Dulu saya dan teman-teman punya studio animasi kecil-kecilan. Yang melayani iklan-iklan animasi zaman dulu. Kalau zaman sekarang itu, semacam advertising agency. Kami menerima pesanan untuk animasi yang sangat sederhana, misalnya iklan kulit kasar menjadi kulit halus. Tapi, toh itu sempat menghidupi kami.

Sampai pada tokoh Unyil?
Pokoknya Pak Dipo tidak mau kalau pakai aktor hidup. Beliau ngotot harus kartun. Kami sudah nyerah. Kemudian kami usul pada Pak Dipo, bagaimana kalau bukan kartun, tapi pakai boneka. Lah itu bagus, pokoknya jangan pakai manusia. Mulailah pembuatan si Unyil itu.

Mengapa bersedia memenuhi panggilan tawaran pembuatan si Unyil?
Waktu diminta tayangan si Unyil, saya harus pilih salah satu, antara Si Unyil atau jadi dosen di ITB. Kalau melayani yang di Bandung (dosen ITB-red), saya tidak mengecilkan arti dosen. Dosen itu membuat orang pintar. Tapi kalau ngajar jadi dosen, yang saya hadapi cuma beberapa orang dalam ruangan. Nah, kalau si Unyil itu yang saya hadapi anak-anak se-Indonesia. Meskipun bagi orang lain dosen itu mentereng, daripada tukang gambar, tukang bikin boneka, ah apa itu?! (Pak Raden tertawa)

Apa yang dijanjikan Pak Dipo saat itu?
Pada waktu semua sudah berjalan dengan baik, kerja sama kami sudah berjalan bertahun-tahun. Mungkin sebagai rasa terima kasih Pak Dipo, beliau menjanjikan saya untuk dibelikan rumah. Tapi baru berkata begitu, tidak lama kemudian Pak Dipo meninggal. Ya sudahlah, itu sudah nasib saya.

Jadi, janji itu tidak pernah terwujud?
Ya tidak pernah. Itu sudah nasib saya.

Setelah direktur PFN berganti, apa yang terjadi? 
Setelah Pak Dipo meninggal, lalu digantikan Pak Amaroso Katamsi. Tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama pandai mengelola. Tapi Pak Dipo itu orang Setneg (Sekretaris Negara-red), gudangnya uang. Kalau kami kekurangan uang, Si Unyil lagi seret-seretnya, Pak Dipo segera mengusahakan. Pokoknya Si Unyil harus tetap jalan. Lain halnya dengan Pak Amaroso. Orangnya pandai, tapi susah mencari dana. Meskipun demikian, beliau orangnya jujur. Nah, sesudah beliau pensiun, penerus-penerusnya ini yang tidak sebaik Pak Katamsi dan Pak Dipo. Ah sudahlah...

Soal surat perjanjian yang bisa berbeda dan terjadi dua kali antara Anda dan pihak PFN, mengapa bisa terjadi?
Nah, itu dia. Hubungan saya dengan PFN begitu baik waktu itu, sehingga apa pun disodorkan pada saya, tidak saya teliti. Biasanya kami sambil syuting terus ada yang datang, "Pak, bapak diminta mendatangani?". Ya udah mana-mana, srett, sekejap saya tanda tangani. Ya itulah kebodohan saya, kenapa tidak meneliti secara detail, satu per satu.

Bisa sampai dua kali?
Itu hingga terjadi dua kali. Penyebab yang pertama, adanya penyerahan perjanjian hak cipta waktu itu begitu marak adanya iklan-iklan, makanan-minuman, atau apa pun yang menggunakan nama dari tokoh-tokoh Unyil. Ada sate, empek-empek, roti, dan lain sebagainya. Itu dikandung maksud oleh pimpinan, harus ditertibkan. Nah, supaya bisa menindaknya lebih gampang, kalau penciptanya menyerahkan hak ciptanya kepada mereka, kepada PFN. "Nanti semua akan gampang menindaknya, mengurusnya," kata mereka. Tapi kenyataan, itu tidak pernah ditindak. Itu alasannya. Lalu yang kedua, saya tidak pernah tahu persis kenapa sampai ada perjanjian susulan. Perjanjian pertama itu menggunakan istilah, perjanjian jangka waktu, yakni selama 5 tahun, tapi kalau yang susulan tanpa jangka waktu. Isinya sama persis, cuma bedanya pada kalimat berlaku 5 tahun, tidak ada. Akhirnya, ini pendapat saya ya, jangan-jangan perjanjian pertama dianggap merugikan PFN karena kok cuma lima tahun. Bikin baru saja yang tanpa jangka waktu. Tapi ini hanya sangkaan saja. Mudah-mudahan tidak.

Anda merasa ditipu oleh PFN?
Ah, itu pernyataan yang terlalu kasar. Begini saja, Pak Raden merasa tidak diperlakukan dengan benar. Gitu aja.

Tapi, kenapa baru saat ini Anda menggugat?
Sebetulnya sudah lama saya mencoba memperjuangkannya, tetapi waktu itu saya sendiri. Dan ternyata sendiri itu susah. Inilah hikmahnya kalau punya teman. Nah, pada waktu itu, meskipun produksi Unyil berhenti, saya masih punya sumber-sumber lain. Saya juga belum setua sekarang. Saya masih bisa loncat sini, loncat sana, lari sini, lari sana. Hei, sekarang kan sudah tua renta, haduh kasihan deh lu. Saya harus ingat, saya ini sudah tidak muda lagi. Masa di hari tua menjelang terbenamnya matahari kehidupan masih belum mendapatkan haknya kembali? Itu yang mengganggu pikiran saya. Ini bukan soal uang ya. Uang bisa dicari, meskipun uang itu juga penting. 

Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?
Ya itu tadi, sebetulnya kami tidak ingin menjadikan ini sebagai suatu perkara. Saya sudah bicara dengan Pak Endarjono. Kalau bisa, kita usahakan cari win-win solution-nya, diselesaikan secara silaturahmi. Tapi kalau tidak bisa, ya saya serahkan para mereka-mereka yang paham hukum. Satu hal lagi, pengalihan hak cipta, penyerahan hak cipta, apakah itu mungkin hanya begitu saja diserahkan, lalu sudah? Jadi seperti hibah, oh tidak bisa. Kalau menyerahkan hak cipta, itu harus ada imbalannya dan itu yang belum pernah saya dapat. Jadi, dalam hal si Unyil ini seolah-olah saya menghibahkan apa yang kita miliki. Sudah selesai buat kamu, buat PFN, kemudian saya enggak punya apa-apa? Padahal, menurut Ibu Lia (tim kuasa hukum Pak Raden-red), tidak bisa seperti itu. Kalau kita menyerahkan hak cipta itu, harus ada imbalannya. Seperti orang jual-beli. Ini jual-beli, tapi gratis, jadi ini tidak benar kata Bu Lia. Ini kan semua hibah-hibah. Lalu di sini saya sendiri tidak punya apa-apa.

Apa yang bisa jadi pelajaran dari kasus ini?
Ini juga satu pelajaran buat yang muda-muda. Kalau punya satu ciptaan, harus mau menghargai sendiri ciptaannya. Itu jangan lupa. Saya diajari oleh seorang pengacara namanya Gotawa, sayang beliau sudah meninggal, saya dianjurkan, "Pak Yadi, ini gambarnya lah kok ndak ada, signature-nya, tanda tangan atau paraf. Tiap gambar harus diberi. Sketsa, bagaimanapun jeleknya, bubuhkan nama atau tanda tangan atau paraf." 

Apa yang masih menjadi keinginan besar untuk Anda wujudkan?
Begini, saya dulu ingin membuat satu pameran tunggal dengan tema wayang orang. Dari yang terjadi di dalam gedung wayang orang, divisualkan melalui lukisan. Mulai dari yang terjadi di atas panggung, di bawah panggung, di balik panggung, dan seterusnya. Tapi belum cukup jumlahnya, sudah banyak diambil. Kemarin sama Pak Alex Nurdin. Terus saya dapat tawaran lagi, dari galeri Rumah Jawa. Pemiliknya ingin ada pameran tunggal dengan tema Jawa. Tapi prosesnya begitu seret karena promotornya agak kesulitan mencari sponsor, hingga harus ditunda dulu. Nah, tetapi selama proses itu ada juga tawaran pameran tunggal di Galeri Nasional, bertepatan dengan Hari Anak. Tapi, semua harus anak. Jadi, tidak keburu. Kalau lukisan, saya sedang usulkan untuk pameran dikawinkan saja, jadi judulnya pameran lukisan, drawing dan sketsa.


Nama: Drs Suyadi 
Nama panggilan: Pak Raden
Tempat tanggal lahir: Jember, 28 November 1932

Pendidikan: 
Fakultas Seni Rupa ITB (1952-1960)
Sekolah Animasi di Prancis (1961-1963)

Pekerjaan: seniman/animator (kreator si Unyil dan kawan-kawan )


Sumber: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/89094

0 comments:

Post a Comment

Ada komentar?

 
Twitter Facebook