Si Unyil adalah harta tak ternilai bagi Pak Raden

| | 0 comments


Drs Suyadi atau yang akrab disapa Pak Raden kini tengah meradang. Di usianya yang sudah mulai senja, lulusan Seni Rupa ITB tersebut seharusnya memang dapat menikmati hasil kerja kerasnya selama ini, dengan menciptakan tokoh dan karakter si Unyil beserta teman-temannya (Cuplis, Usri, Usro, Pak Ogah, Pak Raden, Melani, dll).

Namun tumpukan rupiah yang diharap dapat menopang masa tuanya dari hasil jerih payahnya itu pupus sudah. ironis memang, ketika seorang pencipta karya besar dan fenomenal, harus terpuruk dalam renta dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya.

Semua itu lantaran Pak Raden merasa tidak mendapatkan royalti dari hasil karyanya. Ia mengaku, royalti yang menjadi haknya, tidak pernah sampai ke rekeningnya lantaran pihak Perusahaan Film Negara (PFN) bersikukuh menjadi pihak yang berhak mendapatkan royalti dari 'pertunjukkan' si Unyil yang wara wiri belakangan ini di televisi dan iklan.

Hal tersebut, menurut PFN, sesuai dengan kesepakatan antara PFN dan Pak Raden saat dimulainya kerjasama pembuatan kisah Si Unyil yang ditayangkan TVRI saat itu. Meski membenarkan penyerahan hak cipta tokoh si Unyil, namun Pak Raden merasa, penyerahan tersebut dilandaskan atas jangka waktu tertentu, yang sedianya sudah berakhir sejak tahun 2000 silam.

Dengan kata lain, selama kurun waktu 12 tahun, Pak Raden tidak menerima hasil royalti dari munculnya si Unyil di televisi termasuk rencana pembuatan produksi si Unyil dalam bentuk animasi.

Hal tersebut sangat berpengaruh sekali dengan penghasilan Pak Raden. Sebagai tokoh pencipta si Unyil yang fenomenal, Drs Suyadi hanya tinggal di sebuah rumah petak kecil di kawasan padat penduduk, berbagi dengan ruangan kreatif Pak Raden untuk sanggar membuat boneka dan lukisan. Tidak ada perabot yang berharga di dalam rumah kecil tersebut. Hanya perabot standar yang tampak sudah usang.

Saat ini, hanya satu yang diinginkan Pak Raden, yakni kembalinya hak cipta 'si anak hilang', sebagai hartanya yang paling berharga. Berikut petikan wawancara Suyadi dengan Beritasatu.com beberapa waktu lalu.

Bagaimana kondisi kesehatan dan psikis Pak Raden saat ini?
Sakit encok, sakit tua.

Dengan kondisi seperti saat ini, dari mana biaya pengobatannya?
Biaya pengobatan dari urunan (patungan) teman-teman dekat.

Lalu, kondisi keuangan Anda?
Kondisi keuangan sulit, hanya mengandalkan dari mendongeng dan menjual lukisan.

Selain si Unyil ada satu tokoh fenomenal lainnya, yakni Pak Raden. Bagaimana tokoh tersebut bisa Anda ciptakan?
Sosok Pak Raden diciptakan sengaja sebagai tokoh antagonis, supaya cerita si Unyil tidak membosankan. Saya ingin menciptakan karakter yang dibenci dan ditakuti.

Apa pekerjaan Anda sebelum menciptakan si Unyil?
Dulu mengajar sebagai dosen desain komunikasi visual di ITB dari tahun 1958. Tetapi pekerjaan dosen ditinggalkan karena saya merasa bisa lebih mendidik banyak orang lewat si Unyil. Cakupannya luas, seluruh indonesia bisa menyaksikan. Kalau dosen hanya terbatas dalam cakupan kelas saja

Bagaimana sebenarnya latar belakang Anda? Kenapa Anda merasa sendiri saat ini?
Nama asli saya adalah Drs Suyadi. Saya belum menikah (atas keinginan Pak Suyadi, pembahasan tentang pribadi tidak dilanjutkan)

Kapan kali pertama sosok Pak Raden muncul? Lebih dahulu mana, sosok Pak Raden atau sosok yang lain dari serial Unyil?
Lebih dahulu sosok yang lain. Saya merasa sosok yang lain semuanya baik. Saya tidak mau nantinya cerita si unyil jadi membosankan karena tidak ada 'orang jahatnya'.

Kenapa sosok Pak Raden yang notabene galak dan ditakuti anak-anak diciptakan? Apa tujuannya?
Tujuannya hanya ingin menciptakan karakter antagonis saja, supaya si Pak Raden ini tidak disenangi oleh anak-anak. Tapi justru beberapa orang malah ada yang selalu menunggu kehadiran pak raden. Suatu ketika ada orang Ambon yang senang menonton si Unyil. Dia menonton hanya untuk menunggu Pak Raden. "Mana ini jawa gila? Kok belum muncul?" Katanya.

Pak Suyadi kemudian menyerahkan jawaban dari pertanyaan Beritasatu.com kepada Khrisna sebagai juru bicaranya.

Benarkah Pak Raden pernah menyerahkan hak cipta si Unyil kepada Produksi Film Negara (PFN)?
Pernyataan tersebut benar. Saat itu Pak Raden memang menandatangani perjanjian tersebut dengan Drs Gufron Dwipayana, seorang kawan dekatnya yang mengusulkan untuk memproduksi program si Unyil saat itu. Pak Raden mengaku bahwa ia tidak mendalami perjanjian tersebut, hanya membaca sekilas lalu menandatanganinya. Ia percaya sepenuhnya pada pak Dipo (panggilan Gufron). Semenjak perjanjian itu, Pak Raden menjadi 'alergi' dengan si Unyil. Cukup terpukul dan sedih, tapi ia tidak bisa mengurusnya juga ke jalur hukum karena tidak punya uang. Pak Raden mengatakan itu memang karena kebodohan dia.

Upaya hukum apa saja yang sudah dilakukan hingga saat ini?
Kemarin sudah mediasi ke PFN, dilempar ke menteri BUMN. Tp PFN masih kekeuh dengan pendapat mereka jika hak cipta si Unyil yang dipegang PFN, itu seumur hidup. Dulu itu Tanda tangannya dengan Amoroso Katamsi (kepala PFN). Sekarang PFN dipegang sama Hendaryono, dan dia masih belum mau mengalah.

(Belum lama ini, Pak Raden juga sudah bertemu dengan Prof. Dr. Ahmad Ramli, Dirjen Haki di kantornya, kawasan Daan Mogot, Tangerang)

Apakah Pak Raden pernah dihubungi dengan pihak yang menggunakan tokoh si Unyil dalam acara televisi atau iklan?
Tidak pernah dihubungi. Semua yang menggunakan tokoh si Unyil menghubungi PFN.

Kenapa baru sekarang meributkan hal ini?
Dahulu sebenarnya sudah dicoba, tapi tidak ada yang membantu sperti sekarang ini. Selain itu hubungan dengan orang PFN sangat baik, jadinya sungkan.

Drs Suyudi kemudian menjawab kembali pertanyaan dari Beritasatu.com.

Sampai kapan akan berjuang untuk si Unyil?
Sampai saya mati

Apa hikmah dari kasus ini?
Semoga saya jadi seniman terakhir yang tidak mengetahui mengenai hak cipta

Merasa menyesal pernah menciptakan tokoh si Unyil?
Tidak pernah menyesal, karena sudah berhasil. Tapi semenjak perjanjian itu jadi alergi

Pengin menciptakan tokoh anak-anak lainnya?
Saya sudah tua. Saya mau kasih kesempatan yang lebih muda saja. Sudah cukup

0 comments:

Post a Comment

Ada komentar?

 
Twitter Facebook